You are currently viewing Fraktal

Fraktal

Jalanan masih basah. Baru saja awan yang menggantung di langit tua itu menumpahkan tetesan airnya. Setidaknya hal itu cukup membersihkan aroma polusi dari udara pagi ini. Walaupun tak lama lagi, semuanya akan kembali seperti biasanya. Ya seperti biasanya: polusi, panas, menyesakan seluruh rongga paru-paru. Aku kembali pada pekerjaan yang biasa. Memandangi rutinitas orang-orang itu. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Terlebih lagi di usiaku yang telah renta ini.

Hari ini, aku lihat serombongan orang berkumpul di bundaran sebuah kampus. Ku dengar, mereka akan menuju bundaran Hotel Indonesia untuk berkumpul bersama rombongan lainnya. Demonstrasi. Bukan, bukan. Mereka sebut itu ‘aksi’. Ah, entahlah! Apapun namanya, tampaknya mereka akan menyampaikan protes tentang peristiwa itu. Peristiwa yang katanya melibatkan seorang pejabat sebuah departemen pemerintah pada kasus korupsi. Bahkan ku rasa, bukan hanya ia yang terlibat dalam masalah tersebut. Tetapi, mereka juga. Orang-orang berkerah putih yang sembunyi di balik meja-meja cendana itu. Efek domino. Ya, sebenarnya aku tahu jelas siapa yang ada di balik kasus itu. Namun, aku tak mungkin menyampaikannya pada siapapun. Bukan tak mungkin, tapi tak bisa.

Sungguh, terkadang aku benci pada diriku sendiri. Perasaan bersalah, sedih, marah, semua seolah beradu menjadi satu. Berkecamuk di ruang bawah sadarku. Aku bingung menyampaikan kebenaran. Padahal aku pun tahu, orang-orang baik itu tengah mencari sesuatu: kebenaran. Seandainya aku tak tahu apapun. Mungkin kejadiannya tak seperti ini. Mengetahui segalanya, terkadang justru malah menyakitkan. Ingin rasanya menutup pandanganku rapat-rapat. Namun, apalah artinya jika pendengaran ini masih terbuka? Atau ku bunuh saja diriku? Andai Tuhan beri kesempatan itu. Ah, siapa peduli?! Toh, sampai hari ini pun mereka belum tentu memikirkanku.

Teriakan pemuda itu kembali menyita perhatianku. Rupanya mereka telah bersatu dari segala penjuru. Aku suka semangat mereka. Kritis. Bersemangat untuk mempertahankan bangsa yang tengah menggigil ini. Suara mereka menjanjikan kehidupan. Walaupun terkadang mereka sering tak sabaran. Tapi tetap saja aku suka. Ku harap mereka tak berubah menjadi apa yang ku khawatirkan. Hilang ingatan dan berubah menjadi orang-orang durjana yang sampai saat ini turut menyakitiku. Tidak. Bukan hanya aku. Tapi juga kaum proletar di seberang sana. Mengingat itu semua, rasanya membuatku muak. Bedebah!

***

Ada pejabat yang mati. Syukurlah, bukan karena dibunuh. Belakangan hal itu rupanya telah berkurang. Mungkin karena celah bagi para pembunuh itu kini semakin sempit. Tak banyak gerak yang bisa mereka lakukan. Oleh karena itu, jika ingin selamat dari sanksi, mereka harus melakukan gerakan yang lebih halus lagi. Tak seperti zaman sebelumnya, di mana nyawa manusia bahkan pejabat sekalipun sangatlah murah. Nyawa bagi mereka yang masih berjalan di jalan yang lurus itu tampaknya memang tak akan bertahan lama. Kecuali takdir memang berkata lain. Hal ini kembali mengingatkanku padanya yang mati di atas burung besi sewaktu lalu. Dari sekian banyak yang terlibat, nyata-nyatanya hanya makhluk-makhluk kecil itu yang terjaring. Hebat! Rupanya mereka berhasil bersembunyi di balik tabir yang diciptakan. Tega pula mereka korbankan teman seperjuangannya. Sedangkan yang lain hanya bungkam. Entah karena takut mati juga atau tergiur oleh aroma nikmat dari kantung-kantung orang yang tengah bersembunyi itu. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa diam menyaksikan itu semua. Tak ada yang mampu aku sampaikan.

Lagi-lagi suara itu. Siapa lagi yang kali ini mengaduh karena lapar? Kenapa harus kau perdengarkan padaku? Kau kan tahu aku tak punya apa-apa lagi? Ku tutup telingaku.

Sungguh melelahkan. Setiap hari mereka menangis di hadapanku. Berteriak lapar. Melolong pagi maupun petang. Orang-orang itu selalu berhasil membuatku berduka. Mungkin bukan salah mereka. Bisa jadi ini semua salahku yang tak bisa memberinya makan. Tapi aku tak punya apa-apa lagi. Para kapitalis itu telah merenggut semuanya dariku. Yang bisa ku lakukan saat ini hanyalah menyediakan tempat bagi mereka berbaring. Meskipun hanya langit tua yang menjadi kanopi bagi tempat itu. Ku harap mereka nyaman. Karena hanya itu yang bisa ku lakukan. Selebihnya, lagi-lagi aku hanya bisa diam.

Anak itu setiap hari bernyanyi di depan jendela-jendela mobil yang berbaris setiap lampu merah menyala. Miris. Menatapnya seolah ada sembilu menghunus dadaku pelan-pelan.
Ah, sudahlah! Tak seharusnya aku terus memandanginya. Toh di sana masih banyak adik-adik yang bersemangat menjalani hidupnya. Berjualan koran, minuman, atau apalah itu. Setidaknya mereka tak menengadahkan tangan mungil mereka untuk meminta belas kasih orang lain.

Ya Tuhan, kenapa Si Tua ini hanya bisa diam? Ku mohon guncangkan aku! Guncangkan aku! Karena ku pikir hanya itu yang bisa membuat mereka sadar akan semua. Walau tak lama. Sejenak saja. Tapi aku ingin mereka tahu rasa!

***

Sudah lewat tengah malam. Sayangnya mata ini masih saja terjaga. Rasanya aku akan terus begini hingga waktu yang tak terdefinisi lamanya. Bahkan hingga detik ini aku masih menjalani rutinitasku: memandangi mereka. Manusia-manusia itu berseliweran menghabiskan waktu mereka di tempat-tempat yang remang. Ada yang tengah asyik bersenda gurau tak terarah, menikmati segelas Wine yang mengalir di kerongkongan, dan beragam lakon yang aku sendiri malu untuk melihatnya.

Aku heran. Apakah itu yang diajarkan di bangku sekolah mereka? Atau mungkin aku saja yang memang teramat naïf? Hidup memang sulit diterka. Tak sedikit dari mereka yang menyalahkan nasib dan takdir karena kelakuan yang mereka perbuat. Bahkan hingga mencela Tuhan. Merasa telah terlanjur kotor. Akan tetapi tak ada usaha membenahi diri untuk menjadi benar kembali. Jadi, siapakah yang salah?

***

Dini hari. Tetapi, tak ku dengar lagi kokokan ayam yang saling bersahutan memecah sunyi. Syukurlah, masjid dan langgar-langgar itu masih kokoh di tempatnya. Entah bagaimana rasanya jika semua itu ikut tercerabut dari pandanganku. Makin sakit saja rasanya jiwa ini. Seperti biasanya, hanya bersama orang-orang tua itulah aku bisa menikmati subuh ini sembari bermunajat. Terkadang satu, dua pemuda masih menyempatkan diri ada bersama kami. Semoga esok bertambah.

Kali ini aku hanya ingin memohon satu hal padaNya. Permohonan sederhana agar duniaku kembali seperti dulu. Di mana semua orang bisa saling bertegur sapa, bertoleransi satu sama lain, teramat cintanya pada alam dan lingkungan sekitar, serta saling membantu tanpa harus diminta sekalipun. Tak ada lagi pengadilan jalanan yang mendominasi, tumpukan sampah hingga enam ratus ribu ton mengotori dan menyebarkan bau busuk setiap hari, atau kumpulan orang-orang yang tak punya rasa empati.

Pilu benar Si Tua ini. Menangis sendiri seolah tak ada yang mau memahami. Kali ini aku benar-benar rindu dengan sosok pemuda itu. Pemuda berbadan tegap dan gagah. Pantang menyerah, serta siap membantu kaum yang tertindas. Pandangannya yang tajam mampu menggetarkan para penjajah yang mencabik-cabik harga diri bangsanya. Namun selalu santun dengan siapapun. Kalau tak salah ingat, namanya Fatahillah. Pemuda yang berhasil mengusir Portugis, perusak raga ini. Putera dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, dengan Nyai Rara Santang, putri dari Raja Padjajaran. Dia yang memanggilku dengan sebutan Jayakarta—kemenangan yang tercapai (volbrachte zege, achieved victory). Di kala itu, 22 Juni 1527, aku terlahir dengan kemenangan dan suka cita. Walau tak lama kemudian, orang-orang asing itu datang lagi dalam bentuk yang tak jauh berbeda. Terus-menerus semua pahit tak hentinya menghantam satu-persatu. Fatahillah, aku sungguh rindu padamu!

Mataku kembali berkaca. Kenapa usiaku harus lebih panjang dari usia pemuda itu? Aku sungguh rindu masa-masa ketika bersamanya. Masa-masa itu sungguh menentramkan. Setiap hari aku dapat melihat senyum nan tulus dari siapa saja tanpa ku meminta. Sangat paradoks dengan saat ini yang semuanya hanyalah pemanis dan polesan saja. Tuhanku, biarkan aku mati saja!

Tapi tunggu dulu! Aku rasa, aku harus tetap bertahan. Karena saat ini, aku masih menyaksikan orang-orang serupa Fatahillah di hadapanku. Dan tentunya orang-orang yang serupa dengan orang-orang yang ada di masa Fatahillah. Lihat! Tangan-tangan mereka tak ragu untuk memberi. Bibir-bibir mereka tak alpa mengukir senyum-senyum merona penuh keikhlasan. Atau mungkin, jangan-jangan itu adalah Fatahillah dan sahabat-sahabatnya. Atau saudara-saudaranya, serta keluarga-keluarganya.

Ah, aku tak peduli siapa mereka! Entah apakah benar mereka adalah titisan Fatahillah atau bukan, namun kali ini rasanya aku ingin tetap hidup. Karena aku yakin, mereka juga memahamiku. Memahami Si Tua ini.

Biar saja Fatahillah tak lagi disini. Meski tak ada lagi yang memanggilku Jayakarta, biarlah aku hidup. Karena hatiku masih tetap percaya pada orang-orang baik itu yang serupa dengan Fatahillah. Setidaknya, museum di Taman Fatahillah ini masih berdiri kokoh hingga kini. Bangunan yang menjadi pelipur laraku ketika rindu masa itu. Meski ia pun menyimpan beragam kisah yang mengenaskan. Setidaknya, nama Fatahillah bersemayam padanya.
Sesayup aku dengar suara pemuda dengan gitarnya. Menyadarkanku bahwa hari telah berganti lagi. Tetap dengan kerasnya.

“Gubuk gubuk liar yang resah di pinggir kali. Terlihat jelas kepincangan kota ini. Tangis bocah lapar bangunkanku dari mimpi malam. Lihat dan dengarlah riuh lagu dalam pesta. Di atas derita mereka masih bisa tertawa. Memang ku akui kejamnya kota Jakarta. Namun yang kusaksikan lebih parah dari yang kusangka…”—Kontrasmu Bisu, Iwan Fals.

Sungguh, bukan maksudku melukai siapapun. Aku hanyalah bagian yang tak tahu arah. Aku tak ubahnya air yang mengikuti wadahnya. Ku mohon, bantu aku keluar dari semua ini dan berhenti menyalahku sebagai bagian yang kejam dari hidupmu!

Oleh: MTP

Leave a Reply