Bibir-bibir itu masih saja mengumpat. Tangannya pun tak kalah beringasnya, masih saja dengan parang, tombak, dan bilah-bilah sembilu yang siap meninggalkan beragam sayat dan luka. Tak hanya pada epidermis, akan tetapi jauh lebih dalam menusuk dan mengiris. Lambertus Wera, anak kepala dusun yang baru saja pulang nyantri itu ternyata harus menerima sambutan yang luar biasa tak terduga. Bukan dengan pesta semacam Ritual Bole Bundo atau Ore yang terselenggara. Melainkan sebuah sambutan yang tak sekedar mengucurkan keringat semata, tetapi turut mengiris diorama rasa seorang Wera. Ah, bukan Wera. Tetapi, Rahman Shaleh. Nama yang lebih apik dan bermakna. Sudah setahun kiranya nama itu disandangnya saat masih di pondok nyantrinya, di Tanah Jawa sana.
Sebenarnya, bukan pesta pula yang ia harapkan. Bukan, bukan itu. Karena di kepalanya pun tak ada lagi perhelatan adat yang ingin dikenangnya. Rahman hanya ingin bertemu Ina dan Ama yang sangat dirindunya. Sudah lama rasanya ia ingin memeluk keduanya dengan takzim. Dia benar-benar rindu aroma angin di lewotanah-nya itu. Rindu pula pada jagung titi dan lawar ikan buatan Ina. Sungguh rindu sejadi-jadinya.
Rahman beringsut memaku luka. Kepalanya seakan nanar menghadapi setiap potongan-potongan kisah yang dialaminya beberapa hari ini. Kalian tak salah. Kalian hanya belum memahaminya. Lirihnya menghibur hati.
Walau telah berulang kali berusaha menghibur dan meyakinkan kalbunya, bahwa ini hanyalah sekelumit tantangan dariNya. Tetap saja, lagi-lagi ia tak dapat menahan air mengalir dari matanya. Terlebih jika harus mengingat bahwa ia tak lagi menjadi bagian dari keluarga besarnya. Padahal, terbuang dari sukunya mungkin tak lebih menyakitkan ketimbang harus mendengar dakwa tak diakui sebagai anak dari kedua orang tua yang disayanginya. Sungguh menyakitkan.
Disapunya air bening yang tengah mengalir di pipinya. Biar bagaimanapun, ia harus tetap bangkit menghadapi segala. Kalaupun harus mati, semoga itu dapat terhitung sebagai syahid di jalanNya. Sembari memutar otak, ia tatap seluruh bagian Musholla. Bagaimana caranya harus keluar dari amukan mereka?
Lama ia menahan risaunya. Dan akhirnya, seolah sudah pertanda dari Yang Maha Kuasa, dilihatnya sebuah pakaian menggantung di dekat lemari kumpulan beberapa mukena. Sudah agak kusam. Tapi tak mengapa. Karena hanya ini satu-satunya usaha untuk berusaha menyelematkan diri dari amukan massa. Lisannya masih terus bermunajat. Berharap penyamarannya itu berhasil. Setelah usai melakukan penyamaran, tinggal hati yang ditenangkan untuk mengambil langkah keluar dari pintu samping Musholla. Semoga tak ada yang lekas menyadari kepergianku!
Rahman memantapkan langkahnya. Ia tak ingin seorang pun tahu bahwa dirinyalah yang keluar melalui pintu samping Musholla. Saat itu benar-benar mengerikan. Sebab, setiap kepala yang mengepungnya di Musholla masih saja berdiri dengan kemarahan. Bersamapta dengan kegusaran mereka. Berhasil..!
Setapak demi setapak dirinya mulai menjauh dari kerumunan masyarakat yang menyimpan bara. Lantas, dipercepatlah langkah yang berderap. Tiba-tiba seorang laki-laki berteriak, “Hoi…dia tak adalah di sini..! Dia sudah pergi!! Heruh, ini dia punya baju ditinggalnya di dalam!” Sayup-sayup suara itu masuk ke telinga Rahman. Bergegas ia dengan langkah yang setengah berlari. Sementara jauh di belakangnya, masyarakat yang kalap segera menyebar untuk mengejarnya dari berbagai penjuru. Ya Rabb, kemanakah kakiku ini harus melangkah?
Tak ada pilihan lain. Hanya ada satu-satunya jalan yang bisa dicoba, bersembunyi di balik ilalang yang menari ditiup bayu. Rahman menundukkan tubuhnya dalam-dalam hingga merapat pada bumi. Tak kuasa ia pandang segala yang terjadi di sekitarnya. Beberapa orang tengah sibuk mencarinya kesana-kemari, hingga suara langkahnya mendekat padanya. Basah sudah sekujur tubuh Rahman yang juga diselingi dengan gemetar. Beribu do’a melantun deras. Entah, mungkinkah ini akhir dari hidupnya.
“Hei..keluar, mo! Tak usahlah mo bersembunyi dari kami!” teriak laki-laki berparang. Suara langkahnya semakin mendekat.
Aarrgghh!! Rabb, ku mohon lindungilah aku..! Lindungilah hambaMu yang tak berdaya ini..! Biar bagaimanapun, aku ini bukanlah seorang teroris..!
****
Suara Marius Eta memecah lamunan Rahman. Lamunan yang membawanya kembali pada tragedi lima tahun silam. Sesak rasanya, namun semua itu tak mungkin dapat terlupa. Karena setiap lembarannya tersisip banyak hikmah dan perjuangan untuk mempertahankan iman. Biarlah kini ia terasing dari keluarganya. Menjadi terasing bukanlah sebuah aib bagi seorang pejuang.
Eta kembali berseru lantang dari seberang Rahman bertengger. Seruannya menandakan bahwa sebentar lagi kapal mereka akan berhenti di tepian Pelabuhan Waiwerang. Rahman dan sejumlah kawannya bersiap mengangkut karung-karung mente yang belum habis terjual di pasar tadi. Mungkin esok, biar Eta dan Didik yang menjualnya kembali. Sebab, esok waktunya Rahman menyelusuri beberapa desa di sekitar Manggarai, Larantuka, Lembata, dan beberapa pulau yang namanya pun tak ada di dalam peta. Bukan tanpa tujuan ia melakukannya. Akan tetapi, tak lain untuk menjemput beberapa santri barunya yang siap menuntut ilmu di pesantren miliknya.
Ya, setelah melakukan sejumlah pendekatan pada beberapa keluarga di desa-desa itu akhirnya mereka memperbolehkan anak-anaknya untuk turut ikut menjadi santri di Pesantren Bilqisthi Syuhada yang sederhana. Memang tak mudah meyakinkan orang-orang itu bahwa niat seorang Rahman Sholeh hanyalah ingin menerangi warga dengan cahaya ilmu. Bukan untuk mengubah mereka menjadi teroris seperti yang digadang-gadangkan masyarakat yang tak mau mendengar itu. Melainkan cukup menjadi orang yang tahu makna hidup bagi dirinya, itu saja.
Hanya di Bilqisthi Syuhada, Rahman kini membangun berjuta asanya. Meskipun hanya berbilik kayu-kayu tua, bermisbahkan lampu-lampu minyak, makan dengan pisang atau singkong yang direbus, itu semua bukanlah kendala untuk para penuntun ilmu. Begitulah yang diajarkan Rahman pada mereka, santri-santrinya.
Berjuang itu perlu kesungguhan. Darinya tak akan ada kesia-siaan. Walaupun pahit, namun Sang Maha Daya telah menjanjikan buah Surga yang manis sebagai gantinya. Semoga tekad yang dipagut dengan keserhanaan itu dapat bermuara hanya di surgaNya kelak. Kalimat itu terus saja menggaung di lorong-lorong azzam seorang Rahman.
Satu hal yang masih menjadi impiannya: peluk-cium Ina dan Ama yang kembali merengkuhnya. Entah sampai kapan semua itu akan bertahan. Semoga masih ada kesempatan.
–Teruntuk seorang pejuang di Tanah Flores–
Keterangan:
- Ama = ayah
- Ina = ibu
- Jagung titi = jagung emping, makanan khas Adonara
- Lawar Ikan = acar ikan mentah
- Lewotanah = kampung halaman
- Mente = kacang mede
- Mo = kamu
- Ore = pesta yang paling utama dalam kehidupan seorang Witihama–Adonara, yang kalau bisa diadakan setiap tahun sejak berumur satu tahun. Pesta untuk memohon kesuksesan pada leluhur.
- Ritual Bole Bundo = upacara ritual syukuran atas keberhasilan dalam perang atau panen di desa Lewatolo dan desa Sinar Hadding Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur.
Oleh: MTP