You are currently viewing Cermin Manusia

Cermin Manusia

Gadis itu langsung melempar tas ranselnya. Sejurus kemudian ia menghempaskan badannya ke dipan. Tangis pun mengalir di antara bantal yang didekapnya. Hari ini begitu panjang untuknya karena rupanya mendung tengah menyelubungi seisi hatinya. Sesak. Begitulah tampaknya.

Tiba-tiba seorang gadis lain yang kira-kira berusia lebih tua, perlahan masuk ke kamarnya. Ia dekati gadis yang tengah menangis itu sembari membelai kepalanya yang setengah tertutup oleh bantal.

“Apa kabar, adikku? Bagaimana harimu?” tanyanya sambil tersenyum.

“Buruk, Kak!”

“Benarkah? Kenapa memangnya, Sayang? Ayo sini, coba ceritakan pada kakakmu ini!” katanya menghibur.

Sang gadis mulai menceritakan kisahnya selama di sekolah hari ini. Ternyata, ia baru saja mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman sebayanya. Ada kata-kata yang menyinggungnya dan baru tertumpah ketika ia sampai di rumah. Sang kakak masih mendengarkannya dengan penuh perhatian. Setelah agak sedikit tenang, ia lantas memberikan sebuah cermin kepada adiknya itu.

“Coba lihat dirimu di cermin itu! Bagaimana rupanya?”

“Ah, Kakak! Kau kan sudah tahu jawabannya. Sebenarnya, apa yang ingin kau sampaikan, Kak?”

“Anak cerdas! Begini adikku, apakah cermin pernah menampakkan sesuatu yang salah?”

“Maksudnya, Kak?”

“Ya, apakah  pernah cermin menunjukkan pantulan wajah yang masam ketika kau tengah tersenyum di hadapannya?” Sang adik hanya membalasnya dengan gelengan kepala.

“Demikianlah manusia, Sayang! Menghadapi mereka tak ubahnya seperti ketika kau tengah bercermin. Barangkali, sadar atau tidak, apa yang orang lain lakukan pada kita merupakan bagian dari perbuatan kita di masa lampau. Maka, hadapi saja dengan senyum ya, Sayang! Agar kau nantinya mendapatkan refleksi yang sama baiknya dengan apa yang kau lakukan. Percaya, deh!” Sang adik arkian memeluk perempuan di hadapannya dengan hangat.

***

Sahabat, menjalani hidup bersama dengan manusia memanglah penuh tantangan. Ia begitu menarik jika kita terus menggali pesonanya hingga ke dasarnya. Adanya orang lain dalam hidup kita pun pastinya menambah dinamika perjalanan yang sedang kita tempuh. Asam, manis, asin, pahit, hingga yang tak terdefinisi sekalipun turut mewarnai rongga rasa yang dimiliki oleh insan yang ada di muka bumi.

Kadang, ada saja yang membuat kita tertawa, marah, bahkan menangis. Sadarkah Sahabat bahwa semua itu sebenarnya hanyalah efek dari sikap kita yang terdahulu? Mungkin, tak jarang kita bertanya seribu kali ketika diri ini tengah mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan. Mengapa semua ini terjadi pada diri saya? Mengapa mereka memperlakukan semua itu pada saya? Atau mengapa saya begitu tidak beruntungnya dan harus menerima semua hal ini? Saya yakin, kadangkala kita pernah menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

Jika benar, coba kembali selami sisi terdalam kita. Buka lembaran-lembaran jejak rekam perilaku yang pernah kita lakukan, khususnya kepada orang-orang yang ada di sekeliling kita. Menghadapi manusia memang layaknya seperti tengah berhadapan dengan cermin. Jika kita tersenyum padanya, senyum itu pula yang akan kita dapatkan darinya. Begitupun ketika wajah muram yang ditampakan padanya, maka demikianlah yang akan kita terima. Namun, jika ternyata kita justru mendapatkan sikap yang berbeda dari apa yang telah kita lakukan. Misalnya sudah berbuat baik pada seseorang, tetapi justru malah mendapatkan sikap yang paradoks dari orang tersebut. Jangan khawatir, Sahabat! Karena bisa jadi, di kala itu cermin yang sedang kita hadapi tidak dalam keadaan yang bersih. Kacanya penuh dengan noda dan perlu segera kita bersihkan. Bukan lantas kita acuhkan dan meninggalkannya, hingga kita lupa tersenyum kembali padanya.

Hal itupula yang sebaiknya kita lakukan pada manusia. Jika ternyata ia bersikap kurang menyenangkan, padahal di sisi lain kita telah berbuat baik kepadanya. Maka, jangan pernah tinggalkannya. Sentuh ia dengan sikap terbaik tanpa pernah bosan, hingga suatu hari nanti ia kembali bersih dan bercahaya, serta memantulkan sikap terbaik bagi diri kita. Jika cermin itu ternyata sulit untuk dibersihkan, maka pilihannya jangan pernah berhenti tersenyum padanya. Sebab, sesungguhnya ia hanya belum memiliki kesempatan untuk bersih kembali.

Lantas, sia-siakah segala jeripayah yang kita lakukan? Sesungguhnya tak ada yang percuma dari segala kebaikan yang telah dilakukan. Ingat, Yang Maha Kuasa tak pernah tertidur, bukan? Maka, adakah yang kita sangsikan dari itu semua? Udara pun tak pernah kecewa ketika tak ada seorangpun yang membenakannya berhembus dan memberikan kehidupan bagi sekitarnya. Lantaran, ia percaya bahwa ia ada bukan sekadar untuk diperhatikan orang lain. Namun, ia yakin bahwa ia ada hanya untuk dan karena penciptanya.

 

“Seorang mukmin itu laksana cermin bagi mukmin yang lain”. (Hadits shahih, riwayat Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath. Lihat Shahiihul jaami’ no. 6655).

 

Oleh: MTP

Leave a Reply