You are currently viewing Memaknai Ikan Goreng

Memaknai Ikan Goreng

Hari masih sangat pagi. Namun, aroma sedap sudah menggoda dari arah dapur. Menggugah langkah seorang anak untuk segera beranjak dari kamarnya dan menuju ke sana. Dengan mata yang masih setengah terjaga, ia tengok semua masakan yang telah tersaji di meja makan. Ada sayur asam, sambal goreng terasi, tempe bacem, dan beberapa gelas susu segar tertata rapi. Makan besar rupanya. Ia lihat ibunya yang masih sibuk dengan ikan tongkol di wajannya. Pelan-pelan ia pun mendekat, sembari mengamati ikan yang masih digoreng ibunya itu. “Hemm…sedap!!!” serunya.

Sang Ibu pun hanya tersenyum melihat anak mungilnya itu. Sejurus kemudian Sang Anak bertanya padanya, “Bunda, kenapa sih ikan yang digoreng itu baunya harum? Padahal kan sebelum dimasak, baunya amis banget ya, Bun!”

Sambil menyelesaikan garapannya, Ibu itu menjawab dengan sederhana, “Karena proses selalu memberikan kesempatan bagi perubahan, Sayang!”

“Apakah itu juga berlaku untuk semua hal, Bunda?”

“Insya Allah, selama ada kesungguhan dalam menjalaninya,” sahut Si Ibu lembut.

***

Sahabat, hidup tak ubahnya dengan sebuah proses bagi diri seorang manusia. Proses mencari jati dirinya, proses mengumpulkan bekal untuk pulang, maupun proses memahami Sang Maha Pencipta. Hal yang paling dinamis yang tak seorang pun akan luput melewatinya. Hanya ada satu hal yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, yaitu perubahan. Entah berubah menjadi lebih baik, buruk, atau malah tidak sama sekali. Namun, proses itu adalah sebuah keniscayaan.

Sayangnya, kebanyakan dari kita justru lupa untuk menikmati setiap depa proses yang tengah mengalir. Bisa jadi karena kita belum memahami atau mencintai setiap alur yang melangkah di sekeliling kita. Alur dari proses yang tengah kita lalui. Layaknya seorang pemancing yang asyik menunggu ikan-ikan yang akan melahap umpannya. Mungkin tak sedikit waktu yang akan ia habiskan. Padahal di sisi lain jika ia hanya inginkan ikan, ia bisa membelinya langsung pada nelayan atau di pasar-pasar yang ada. Akan tetapi, ada proses yang ia nikmati di sana. Itulah yang membedakannya.

Tidak jauh berbeda dengan seorang penggila bola yang rela menghabiskan waktunya berjam-jam hanya untuk menyaksikan tim kesukaannya berlaga. Menyaksikan riuhnya euphoria para penonton yang bersorak di setiap tribun, wasit yang tengah menjadi hakim di pertandingan, bahkan mimik para pelatih dari masing-masing tim. Padahal, ia pun bisa mendapatkan berita hasil pertandingan hanya dengan membaca reportase dari berbagai media mengenai hal itu. Namun sekali lagi, pemancing dan penggila bola itu tak sekadar menikmati hasil, melainkan proses.

Lantas, bagaimana bisa mereka menikmatinya? Rasa cinta. Tak jarang mereka yakin bahwa di dalam proses ada pembelajaran yang bisa diraih ketimbang hanya menikmati hasil. Oleh karenanya, mereka pun mencintainya.

Seperti halnya ikan yang sedang digoreng tadi. Maka, proses itulah yang akan membuatnya menjadi matang, harum, dan lebih bermanfaat bagi sekitarnya. Walaupun memang tidak mudah dalam menikmatinya. Sebab, kelak tak hanya manis yang akan kita temui. Rasa pahit, asam, asin, bahkan yang tak terdefinisi sekalipun, akan turut menyambut kita dalam keadaan apapun. Siap maupun tidak.

Bosan, lelah, lalai, bisa jadi akan menggenapi langkah kita. Itu semua adalah sebuah kewajaran bagi manusia. Jadi, beristirahatlah sejenak di dermaga kalamNya. Memekur segala, sebelum akhirnya kembali mengarungi birunya samudera bersama sampan bidar nan tangguh yang dirahmatiNya pada kita. Namun jika rupanya hal itu telah terasa mendominasi, maka kembalilah pandangi keabadian yang ingin kita selami di depan sana: surga dan ridhoNya. Ikat pandangan itu kuat-kuat dan masukan ia ke dalam kantung-kantung pikiran kita. Kelak ia akan menjelma sebagai cadangan-cadangan amunisi yang siap digunakan ketika kita sedang alpa. Dan itulah proses mencintai sebuah proses.

Kelak apapun ujian yang ada di depan sana, maka hanya kesiapan dan kekuatanlah yang akan kita gunakan sebagai jubah dan senjata untuk menghadapinya. Hingga nantinya kita bisa berkata, “Aku sudah terlalu rindu dengan wangi surga.”—ucapan Anas bin Nadhar dalam sebuah pertempuran Uhud.

 

Oleh: MTP

Leave a Reply