Puisi #18
“D”
Detak perubahan itu pun terlahir
dari kandungan Ibu Pertiwi
terlahirlah bayi mungil yang sangat dirindu
kelak kan tumbuh sebagai perisai Negeri
“E”
Energi perubahan itulah hakikat kelahiranmu
meski tertatih, kadang terjatuh,
kemudian bangkit lagi
berlatih diri menjadi kuat
menyerap energi peradaban
“L”
Langkahmu tak pernah terhenti walau sejenak
kau terus belajar dan menempa diri
di taman peradaban bernama Indonesia
Indonesia tanah yang kaya
harus kau jaga sepanjang hayat
“A”
Arti kehidupan yang terus berubah
adalah berbakti pada Bunda Pertiwi
yang semakin menua, tetapi semakin berarti
sebab dari Bundalah engkau diajarkan
tentang cinta sejati
“P”
Perjalanan hidupmu berlalu
menanjak, mendaki, jalanan yang sunyi
dalam kesendirian
sepi merenda hari
itulah jalan para kelana
“A”
Alasan cintalah engkau terus bertumbuh
cintamu pada Ilahi
cintamu pada Rasulullah
cintamu pada jalan dakwah ini
“N”
Nun jauh di sana ada sebuah taman menanti
taman Firdaus di surga abadi
tempat berkumpul para kelana
selepas berlelah di jalan kemuliaan
di dunia sementara
“B”
Bahkan, kau pun tahu
bahwa kita tak boleh lupa
hakikat perjuangan ini
bukanlah puja dan puji dunia maya
Bukan, bukan itu sejatinya
“E”
Entah apa jadinya, bila kau gila
gila jabatan, gila kekuasaan
rasanya itu bukan tujuan
sebab jabatan adalah amanah
sebab kekuasaan adalah titipan
yang harus kita jaga
dan akan diminta pertanggungjawabannya
“L”
Lelah, berlelah diri di jalan ini
bukan sekedar pamer diri
bahwa kita telah berkontribusi
dan lalu kita terlupa diri
bahwa kita sejatinya tidak sendiri
“A”
Alangkah panjangnya jalan ini
alangkah lelahnya perjalanan
betapa sunyinya
hanyalah rerumputan hijau
sejauh mata memandang
dan cericit burung pipit
sesekali meningkahi
seruan sang da’i kelana
“S”
Sungguh lelah,
melintas samudera dan gurun kembara
membawa secawan air kehidupan
bagi ummat yang merindu
merindu akan kehidupan abadi
tapi tak mengapa
sebab kita akan meminum secawan air
dari telaga Nabi
“Delapan Belas”
Dekapan dakwah ini,
lahirkan pemimpin-pemimpin sejati, pantang berputus asa apalagi merendahkan diri dan jama’ah atas nama harga diri
Pantaskah kita, mengemis puja dan puji lalu mati seorang diri, padahal masih banyak kerja yang belum kita selesaikan
Belum saatnya tiba, kita mendapatkan posisi hakiki, apalah kita ini masih banyak kerja padahal sebentar lagi kita akan mati
Ikhlas berjuang tak membolehkan kita meradang, menantang, melupakan kebersamaan sebab di sanalah kita besar tumbuh bersama.
Taiwan, 20 April 2016
AFA
Kerennnn