Pendidikan. Sebagian besar dari kita, mungkin tidak jarang mengasosiasikannya dengan sekolah maupun bangku perkuliahan. Sehingga, jika ditanya seberapa tinggi pendidikan yang kita miliki jawabannya pasti tergantung dari seberapa tinggi jenjang formal yang telah kita tempuh sebagai pelajar atau mahasiswa. Hal ini kemudian pelan-pelan akan membentuk manusia menjadi persona-persona kompeten yang pada akhirnya mengantarkan mereka untuk mengejar keberhasilan-keberhasilan dalam membangun lumbung-lumbung emas bagi diri mereka. Lantas pertanyaannya, apakah hanya itu saja makna pendidikan yang sebenarnya?
Plato, pada bukunya yang berjudul Republic, mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbarui; ada pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Pembebasan dan pembaruan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa yang akan mengantarnya ke ide yang tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan. Sedangkan menurut Al-Qur’an menyebut kata pendidikan dengan istilah tarbiyah. Asal katanya adalah rabba, yurabbi, yang berarti memelihara, mengatur, dan mendidik. Salah satunya seperti yang disebutkan dalam Q.S. Al-Isra’[17]: 24. Kata tarbiyah berbeda dengan ta’lîm yang secara harfiyah juga memiliki kesamaan makna, yaitu mengajar. Akan tetapi kata ta’lîm lebih kepada arti pemindahan ilmu dari satu pihak kepada pihak lain (transfer of knowledge), sedangkan tarbiyah tidak hanya memindahkan ilmu dari satu pihak kepada pihak lain, namun juga penanaman nilai-nilai luhur (akhlaqul karîmah) dan pembentukan karakter.
Adanya peyorasi makna pendidikan inilah yang mendorong timbulnya pertanyaan-pertanyaan semacam: “Tingkat pendidikannya apa?”; “Kuliah dimana?”; “Jurusannya apa?” atau “Memangnya kalau sudah lulus akan jadi apa?”. Ya, pendidikan tampaknya semata-mata hanya dijadikan sebagai bagian dari investasi yang mendukung program penumpukan kekayaan guna meraih kesuksesan hanya dalam arti sempit, yaitu dapat menjadi ‘orang kaya’. Jauh dari tujuan-tujuan humanisasi. Bahkan hal-hal semacam itu sudah tertanam di kebanyakan keluarga. Sehingga sejak dari rumah, anak-anak yang nantinya akan mengenyam pendidikan formal akan terbangun persepsinya bahwa jika ingin sukses maka harus mengambil jurusan A dan bukan jurusan B yang tidak prospektif bagi karir.
Pendidikan bukan sekedar investasi dalam arti sempit. Walaupun memang, tidak ada orang yang berhak untuk menyatakan bahwa dengan mengenyam pendidikan yang semakin tinggi maka tujuan untuk menjadi orang kaya itu adalah salah. Namun, bukan itu tujuan hakiki dari sebuah pendidikan. Itu hanya bagian dari akibat, dan idealnya bukan untuk dijadikan sebagai tujuan hidup seseorang.
Selayaknya, pendidikan dijadikan sebagai proses bagi pendewasaan diri, meningkatkan empati, serta semakin besar pula amanah untuk berkontribusi dan memberi. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dimiliki seseorang, sudah seharusnya ia dapat memikirkan nasib para kaum proletar yang saat ini menjadi kaum yang semakin lama semakin teralienasi oleh perkembangan zaman. Mengeluarkan mereka dari jeruji kemiskinan yang membelenggu.
Sayangnya, tidak jarang kebanyakan dari kaum terdidik justru menggunakan pendidikan yang telah dienyamnya sebagai salah satu alat untuk ‘bergaya’. Menunjukkan betapa hebatnya ia yang telah menempuh sejumlah proses di beberapa institusi dengan gelar yang luar biasa. Bukankah hal ini justru paradoks dari keluaran pendidikan yang diharapkan?
Seyogyanya, menjadi kaum terdidik adalah menjadi bagian dari orang-orang yang melakukan proses pembebasan. Terutama pembebasan terhadap diri sendiri. Ya, menjadi terdidik adalah menjadi independen dalam berpikir namun semakin bijak dan terarah dalam bersikap dan bertindak. Bukan malah sebaliknya. Pikiran dikuasai oleh sistem atau paham-paham tertentu namun sikap tak diingatkan oleh pakem-pakem kehidupan yang santun dan penuh empati. Mungkin itu pula yang menyebabkan banyaknya orang yang disebut dengan ‘pinter-pinter keblinger’.
Pendidikan merupakan proses membina masyarakat. Kalaupun akhirnya dijadikan sebagai alat untuk mengantar masyarakat menjadi lebih sejahtera, namun bukan sejahtera yang hanya diukur dengan seberapa besar pendapatan dari masyarakat tersebut. Masyarakat sejahtera yang dibuktikan dengan peningkatan kemampuan dan kompetensi masyarakat itu sendiri untuk berusaha serta keluar dari belenggu-belenggu yang selama ini mengikat diri mereka. Dengan begitu, kemiskinan baik kemiskinan harta, maupun kemiskinan berpikir pun dapat diminimalisasi bahkan dihapuskan. Seperti halnya pernyataan Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan, bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani manusia agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan manusia yang selaras dengan masyarakat.
Melihat kondisi tersebut, sudah seharusnya tindakan pengembalian makna pendidikan sebenarnya kembali diupayakan. Tidak perlu pula dibuat rumit dengan memikirkan upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga tersebut. Namun, pada akhirnya sesuatu yang baik memang sebaiknya kita mulai dari diri kita sendiri. Karena seperti halnya virus, kebaikan itupun bisa menyebar dengan sendirinya apabila dilakukan dengan berkesinambungan dan penuh kesungguhan. Oleh karena itu, komitmen dari diri sendiripun adalah hal nomor wahid untuk dituntut dan direalisasikan. Hingga kemudian, nantinya akan menyebar luas ke berbagai elemen manusia, termasuk para kaum terdidik. [MTP]