You are currently viewing Baron, Pelopor Bank Sampah yang Mengurus Manusia (2)

Baron, Pelopor Bank Sampah yang Mengurus Manusia (2)

Tak ingin terjerat dalam lingkaran putus asa. mereka pun membuat pelatihan membuat produk daur ulang. Namun terkendala dengan tersedianya trainer yang mampu melatih warga untuk membuat produk daur ulang sampah. Sementara Baron dan istri tidak mempunyai kemampuan tersebut. Akhirnya ada jalan lewat teman luar kota yang menyediakan waktu dan tenaganya untuk mentraining produk daur ulang.

Alhasil terkumpul warga sejumlah 70 orang. Dari pelatihan itu, warga pun termotivasi untuk mengolah sampah. Mereka membuat produk siap pakai, seperti sajadah, dompet, tas, dan juga kantong belanja.

Jenis-jenis sampah yang dipakai sangat variatif, seperti bungkus kopi instan, mie instan, minyak goreng, atau kemasan plastik lainnya. Ia memilih kemasan plastik karena bahan tersebut tak bisa diurai oleh tanah. Untuk barang organik ia mengolahnya menjadi pupuk kompos. Sementara bagi warga yang the have (mampu), mereka boleh menghibahkan barang tidak terpakai mereka. Makanya di halaman rumah Baron ada beberapa sepeda tidak terpakai hasil hibahthe have.

Ketidakmulusan ditemui lagi oleh Baron. Terhambat pemasaran alias barang hasil daur ulangnya tidak laku. Bahkan kerap mendapat bonus dari warga sekitar, “Bonusnya itu dihina orang he-he-he,” kata garbagepreuner itu.

Semangat para ibu sempat jatuh sebab buat apa produksi jika tidak menghasilkan nilai ekonomis. Namun Allah memberikan jalan. Suatu hari ada event tentang lingkungan hidup, Baron pun ikut. Barangnya di jual di sana, akhirnya laku banyak. Di situ ia mendapatkan pelajaran bahwa untuk menjual produk tersebut pasarnya tertentu. “Hanya orang yang bisa menghargai lingkungan yang mau beli ini,” kata Baron.

Dari peristiwa tersebut transaksi pemesan produk daur ulang kerap terjadi. Permintaan kerap datang. Baron sendiri tak bisa memastikan ketersediaan produk karena kebutuhan bahan baku tidak selalu ada. Sebab untuk membuat 1 buah dompet, misalnya, bisa membutuhkan 100 kemasan kopi instan. Harga jual produk daur ulang dari sampah ini dibanderol mulai Rp25.000 hingga Rp 350.000. Uniknya, hasil penjualan dibagi dengan rincian 70% untuk perajin dan 30% untuk kas Bak Sampah WPL.

“Keuntungan dari hasil penjualan diputarkan kembali ke warga. Dengan cara memberi kredit mikro bagi warga yang membutuhkan tambahan modal,” kata Baron.

Tetangga, Sebuah Pengaruh dan Berkhidmat

Sebagai orang yang sudah tarbiyah puluhan tahun, Baron pernah merasakan masa-masa kontemplatif. Kuliah di tempat bagus dan murah, istri dan anak yang baik, serta berada di lingkungan yang baik-baik. “Masa sih saya nggak bisa berbuat apa-apa untuk tetangga atau warga sekitar?”

Ia mengutip nasihat Rasulullah SAW tentang adab bertetangga. Tetangga itu artinya 40 rumah diametral, ucapnya, kita punya utanglah sama kebaikan mereka. Allah kasih kesempatan, Allah kasih kenikmatan.

“Bagi duit nggak bisa, bagi ilmu nggak bisa, lalu bagi apa? Ya kami memberikan bagi akses ke mereka. Ada orang yang bisa kita ajak ke sini. Nah sekarang mereka bisa produksi, kita kasih akses pasar, carikan pembelinya, hanya konektor saja kita. Itu yang membuat bertahan karena rasa malu kita. Kita daí tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Kalau nasihat-nasihat saja semua bisa. Nggak usah dai, preman juga bisa, pelaku kriminal juga bisa kasih nasihat. Tapi kita kepengin ngasih sesuatu yang real buat mereka. Kalau ada apa-apa dengan kita siapa yang akan merespon paling cepat? Ya mereka, tetangga,” ucap Baron.

Sejak aktif berdayakan warga sekitar, ia merasa hidupnya aman. Bahkan untuk sekadar meninggalkan rumah, ia tak punya kekhawatiran berlebihan. Suatu kali ketika ia pergi bersama istri 2-3 hari, mereka lupa terhadap sesuatu yakni meninggalkan ayam di rumah. Padahal ayam itu baru dibeli, yang kemudian ditaruh begitu saja di rumah. Baron pun menelpon ke salah satu tetangga menyelamatkan 2 ekor ayam potong tersebut.

“Begitu kami pulang, ayam tersebut sudah matang ha-ha-ha. Udah diungkep,” ucap laki-laki kelahiran 14 Juli 1969 itu seraya tertawa mengenang.

Sabtu malam yang hujan itu, di teras rumahnya tampak dinding dipenuhi bingkai-bingkai piagam hasil dari capaiannya juga potongan koran hasil liputan tentang prestasinya.

Ia sendiri merasa belum puas dengan semua capaian tersebut, masih banyak hal yang harus ia lakukan untuk berkhidmat kepada sekitar meski kini punya taman baca di Taman Lembah Gurame, Depok.

“Saya kan bukan ustadz, orang mudah diterima kalau bisa memberi, entah memberi ilmu atau duit. Kami kan nggak punya dua-duanya. Jadi waktu itu kami harus bisa diterima di sini sebagaimana adanya kami. Saya sebagai orang teknik mesin, nggak memosisikan diri sebagai ustadz. Di sini sudah ada ustadz, jadi saya nggak mau (dipanggil ustadz),” pungkas Baron, mengakhiri obrolan hangat itu di malam yang dingin.

Oleh: Muhammad Sholich Mubarok

#RelawanLiterasi

Leave a Reply