Menjaring Asa
Bibir-bibir itu masih saja mengumpat. Tangannya pun tak kalah beringasnya, masih saja dengan parang, tombak, dan bilah-bilah sembilu yang siap meninggalkan beragam sayat dan luka. Tak hanya pada epidermis, akan tetapi jauh lebih dalam menusuk dan mengiris. Lambertus Wera, anak kepala dusun yang baru saja pulang nyantri itu ternyata harus menerima sambutan yang luar biasa tak terduga. Bukan dengan pesta semacam Ritual Bole Bundo atau Ore yang terselenggara. Melainkan sebuah sambutan yang tak sekedar mengucurkan keringat semata, tetapi turut mengiris diorama rasa seorang Wera. Ah, bukan Wera. Tetapi, Rahman Shaleh. Nama yang lebih apik dan bermakna. Sudah setahun kiranya nama itu disandangnya saat masih di pondok nyantrinya, di Tanah Jawa sana. (more…)